12 Cara Agar Orang yang Terlalu Baik Terhindar dari Rasa Sakit
Apakah kamu termasuk orang yang terlalu baik, Bro-Sist?
Itu lho, mereka yang selalu mengatakan “iya”, dan akan merasa amat sangat bersalah
jika sampai menjawab “tidak”. Mereka itu tipikal orang yang ingin
membahagiakan orang lain, tak peduli sampai harus berkorban seperti apa.
Saking terlalu baiknya, mereka sering menjadi target untuk dimanfaatin.
Bagi mereka, merasa dibutuhkan adalah suatu kebutuhan tersendiri. Mereka senang jika bisa bermanfaat, berkontribusi, atau menjadi sosok penting di balik senyum orang lain. Mulutnya berkata “iya”, tapi hatinya bergumam “tidak”. Tapi ujungnya, mereka tak tega jika harus menjawab “tidak”.
Pengkhianatan terhadap diri sendiri
terpaksa dilakukan. Sebab nantinya, ada kekhawatiran kalau pandangan
orang jadi negatif. Ada kecemasan kalau orang tersebut kecewa dan sakit
karena penolakan kita. Ada ketidaktenangan, jangan-jangan hubungannya
akan rusak.
Sekilas, menjadi orang super baik itu
memang sangat baik. Tetapi ada kalanya sikap yang terlalu baik itu
membawa risiko tersendiri. Berikut ini daku ulas kembali tulisan Tina
Donvito dalam Reader’s Digest, mengenai tips agar orang yang sudah
terlanjur terlalu baik bisa terhindar dari rasa sakit. Jom!
#1. Mementingkan Diri Dulu Sebelum Mementingkan Orang Lain
Manusia memang saling membutuhkan dan
ketergantungan. Namun jika terlalu fokus untuk menjadi sandaran orang,
sampai menjadikan kebahagiaan mereka sebagai prioritas paling utama,
kita cenderung akan mengabaikan diri sendiri. Padahal diri sendiri juga merupakan suatu amanah, dan sama-sama memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi.
#2. Kita Juga Berhak Merasakan Kebahagiaan
Menempatkan kepuasan orang lain di atas
diri sendiri menjadi alamat ketidakseimbangan. Apalagi kalau kita sampai
terlalu takut mengecewakan orang, dan justeru memilih diri sendiri yang
kecewa. Kondisi ini semestinya cepat kita sadari, bahwa hidup itu tak semata-mata tentang kebahagiaan orang lain. Diri kita sendiri juga berhak merasakannya.
#3. Hati-hati dengan “Penyakit” Terlalu Baik
Suatu hubungan masih dikategorikan “sehat” jika salah-satu pihak tidak terlalu egois.
Jika masih menuruti ego untuk berbuat terlalu baik pada pasangan,
keluarga, teman, keponakan, atasan, dan orang lain, hal tersebut bisa
menjadi “penyakit”. Tak hanya bagi diri sendiri, melainkan orang-orang
yang terlalu kita manja keinginannya.
#4. Pilih Kasih, Pilih yang Prioritas
Tak apa tak menjadi sosok favorit bagi semua orang.
Untuk langkah awalnya, upaya itu tentu cukup berat. Tapi kita bisa
memulainya, salah-satunya dengan menjadi sosok yang “pilih kasih”. Tak
perlu menjadi pahlawan untuk semua hal. Pilih yang prioritas saja.
#5. Sesuai dengan Akal Sehat Saja
Sebaiknya kita memang fokus pada apa
yang lebih penting, dan menuntut tanggung-jawab pribadi. Dalam kurun
waktu 24 jam, apakah kita bisa mengerjakan pekerjaan pribadi sekaligus
menjadi pahlawan bagi seluruh umat manusia? Maksudnya, kita mesti lebih
realistis untuk tidak overcomitting. Jika memang tak memiliki cukup waktu, cukup tenaga, cukup dana, dll, sebaiknya tak perlu memaksakan.
#6. Perhatikan Kesehatan Mental Diri Sendiri
Tetap keukeuh membantu orang lain sekalipun kita sendiri tengah kewalahan bisa berakibat dobel.
Di satu sisi, kita akan menjadi penyelamat bagi orang tersebutm
meskipun efeknya kurang baik bagi diri sendiri. Di sisi lain, kita
tengah “bunuh diri” secara perlahan. Kalau memang merugikan, sebaiknya
pertimbangkan waktu untuk “me time”.
#7. Jangan Ragu Menyampaikan Isi Pikiran
Pada dasarnya, kita dididik untuk
berbuat baik. Entah untuk menolong orang lain, tak menjadi pemarah, tak
menyakiti perasaan, dsb. Namun ada momen
di mana kita harus “menyakiti” seseorang dengan mengatakan “tidak” pada
apapun yang memang tidak bisa dikabulkan. Jika tak tega menolak secara langsung, ada cara yang lebih halus yang bisa dilakukan.
#8. Dengarkan Suara Hati
Di saat seseorang meminta bantuan, orang
yang terlalu baik akan kesulitan untuk menolaknya. Padahal kita harus
jujur terhadap diri sendiri. Ketika request itu muncul, apa yang pertama kali dirasakan? Apakah kita ragu-ragu untuk membantunya? Merasa keberatan, tapi juga takut?
Jika demikian, alangkah lebih baiknya untuk mengutarakan saja apa yang
mengganjal dalam hati. Bisa-bisa kita rela membantunya hanya karena
tertekan belaka.
#9. Belajar Menjawab “Tidak”
Bagi yang belum terbiasa, menjawab
“tidak” memang perlu waktu tersendiri. Awalnya akan merasa berat hati,
tapi lama-lama kita akan belajar tegas. Tak semua keinginan harus dituruti. Lebih lagi kalau hal tersebut memang tak mampu kita laksanakan, atau memiliki efek yang kurang baik.
#10. Jika Hubungannya Sudah Toxic/ Beracun…
Orang yang terlalu baik bisa sangat
was-was ketika mereka menjawab “tidak”, tidak tenang kalau orang
tersebut jadi berbeda. Di saat itulah, sebenarnya kita tengah diberitahu
kalau hubungan yang terjalin selama ini ternyata “beracun”. Sebab
kalau hubungannya sehat-sehat saja, maka orang yang ditolak itu akan
memahami kondisi kita. Mereka tidak seharusnya berharap untuk menerima
tanpa belajar untuk memberi. Jika hal itu sudah sangat mengganggu, sebaiknya kita jaga jarak.
#11. Mendeteksi Apakah Kita ini Hanya Dimanfaatkan?
Poin ini cukup sering dikeluhkan oleh orang-orang super baik, walau pun hanya dalam hati saja. Yang jelas, mereka sebenarnya merasakan sendiri, apakah tengah dimanipulasi atau tidak. Misalnya dengan melihat dari cara
mereka bertingkah manis ketika meminta bantuan, lalu hilang begitu saja
ketika kebutuhannya sudah terpenuhi. Atau ketika mereka absen di saat
kita yang tengah butuh sesuatu.
#12. Tepis Rasa Bersalah
Seperti yang disinggung di awal, orang
yang terlalu baik akan merasa tidak enak atau sangat bersalah jika tak
bisa meringankan orang lain – yang ujungnya memberatkan diri sendiri. Padahal kita harus belajar mentolerir perasaan bersalah tersebut. Hal ini memang tidak mudah, namun efeknya cukup bagus. Kita akan mengasah diri untuk lebih seimbang lagi.
~
Jika kita dikategorikan sebagai orang yang amat sangat baik, lanjutkan saja. Mungkin ada yang menganggap modus, ada juga yang mengatakan bodoh. Tak apa. Soal ikhlas atau tidak, tolol atau tidak, semua perbuatan baik kita akan berurusan dengan-Nya.
Hanya saja, ada beberapa ketentuan yang
seyogyanya dipertimbangkan. Jangan sampai kesucian hati jadi terciderai
ketika kita berbuat baik hanya karena tidak enak, merasa bersalah, dan
khawatir dijauhi belaka. Kita… kita tak bisa memuaskan semua orang.
Komentar
Posting Komentar